Budaya Arab: Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam

19.05
Budaya Arab: Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam
Budaya Arab: Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam
Dalam beberapa artikel sebelumnya, telah dibahas akhlak-akhlak terpuji masyarakat Arab jahiliyah. Mereka jujur walau kepada musuh. Mereka teguh pendirian dan memiliki komitmen yang kuat atas apa yang telah diucapkan, meskipun berkonsekuensi harus mengubur hidup-hidup buah hati mereka. Mereka jujur walahpun merugikan diri. Dan lain-lain.

Sayangnya, potensi baik ini mereka gunakan untuk keburukan sehingga akhlak yang sejatinya baik menjadi buruk. Di antara kebiasaan buruk atau budaya buruk masyarakat Arab jahiliyah adalah:

Mabuk-mabukan dan Berjudi

Budaya buruk masyarakat Arab jahiliyah adalah akrab dengan mabuk dan perjudian. Dua kebiasaan buruk yang melahirkan keburukan lainnya. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS:Al-Maidah | Ayat: 90).

Masyarakat Arab jahiliyah terbiasa meminum khamr. Bagi mereka, minuman memabukkan itu layaknya air putih sebagai penghilang dahaga bagi kita. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ فِي الجَاهِلِيَّةِ: “اسْقِنَا كَأْسًا دِهَاقً


“Aku mendengar ayahku di masa jahiliyah mengatakan, ‘Berilah kami minum dengan gelas-gelas penuh berisi minuman (khamr)’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadha-il ash-Shahabah, Bab Ayyamul Jahiliyah, No: 3627).

Yakni, Paman Nabi ﷺ, al-Abbas bin Abdul Muthalib, di masa jahiliyah meminta khamr sebagai minuman biasa.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

خَطَبَ عُمَرُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ، أَلَا وَإِنَّ الْخَمْرَ نَزَلَ تَحْرِيمُهَا يَوْمَ نَزَلَ وَهِيَ مِنْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ مِنَ الْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ، وَالزَّبِيبِ، وَالْعَسَلِ


“Umar pernah berkhotbah di atas mimbar Rasulullah ﷺ. Ia memanjatkan puja-puji kepada Allah. Kemudian berkata, ‘Amma ba’du.. Ketauhilah sesungguhnya ayat yang mengharamkan khamr (minuman keras) telah diturunkan. Pada hari ayat itu turun, khamr terbuat dari lima hal: terbuat dari gandum halus, gandum kasar, kurma, anggur kering, dan madu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir Suratul Maidah, No: 4343 dan Muslim dalam Kitab at-Tafsir, Bab fi Nuzuli Tahrimil Khamr, No: 3032).

Minuman kerasnya penduduk Madinah terbuat dari perasan kurma. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan,

كُنْتُ سَاقِيَ الْقَوْمِ يَوْمَ حُرِّمَتِ الْخَمْرُ فِي بَيْتِ أَبِي طَلْحَةَ، وَمَا شَرَابُهُمْ إِلَّا الْفَضِيخُ: الْبُسْرُ وَالتَّمْر

“Aku pernah menuangkan khamr pada sekelompok orang di rumah Abu Thalhah. Hari itu adalah hari khamr diharamkan. Mereka (penduduk Madinah) hanya minum fadhih (minuman keras yang terbuat dari perasan kurma), kurma muda dan kurma masak.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Asyribah, Bab Nazala Tahrimi al-Khamr wa Hiya min al-Busri wa at-Tamri, No: 5261 dan Muslim dalam Kitab al-Asyribah, Bab Tahrimi al-Khamr wa Bayan Annaha Takunu min ‘Ashir al-‘Inab wa min at-Tamr wa al-Busr, No: 1980. Lafadz ini adalah lafadz riwayat Muslim).

Sedangkan khamrnya penduduk Yaman adalah al-Bit’u. Khamr yang terbuat dari madu. Abu Musa al-Asy’ari mengatakan,

بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمُعَاذًا إِلَى الْيَمَن، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفْتِنَا فِي شَرَابَيْنِ كُنَّا نَصْنَعُهُمَا بِالْيَمَنِ الْبِتْعُ؛ وَهُوَ مِنَ الْعَسَلِ، يُنْبَذُ حَتَّى يَشْتَدَّ، وَالْمِزْرُ وَهُوَ مِنَ الذُّرَةِ وَالشَّعِيرِ، يُنْبَذُ حَتَّى يَشْتَدَّ. فَقَالَ: “أَنْهَى عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ أَسْكَرَ عَنِ الصَّلاةِ

“Rasulullah ﷺ mengutusku dan Muadz menuju Yaman. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berilah fatwa kepada kami mengenai minuman yang biasa kami buat di negeri Yaman, yaitu al-Bit’u. Terbuat dari madu yang direndam hingga mengental’. Beliau bersabda, ‘Aku melarang segala sesuatu yang memabukkan dan dapat menghalangi dari shalat’.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Asyribah, Bab Bayan anna Kulla Muskirin Khamrun wa anna Kulla Khamrin Haram, No: 2001).

Orang-orang Daylam biasa meminum khamr yang terbuat dari gandum (Muhammad bin Razaq bin Tharhuni, 1/121-122).

Perlu dicatat, walaupun orang-orang Arab jahiliyah sangat terbiasa minum khamr, tapi mereka tetap menganggap perbuatan ini tercela. Karena membuat kesadaran hilang dan meruntuhkan wibawa1.

Ada beberapa poin menarik mengamati hubungan masyarakat Arab jahiliyah dengan khamr. Ungkapan-ungkapan tentang khamr menunjukkan mereka pecandu berat khamr. Kalau kita hidup karena minum air putih, maka mereka mengungkapkan, ‘mereka hidup karena minum khamr’. Mereka sebut khamr sebagai minuman biasa. Seolah-olah dahaga sahara akan lenyap jika ada khamr. Karena itu, Alquran membuat tahapan dalam pengharamannya. Setelah itu, mereka tinggalkan candu yang luar biasa itu. Mereka komitmen dengan dua kalimat syahadat. Persaksian yang menuntut menaati apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Saat itulah tampak akhlak luhur (tepat janji dan komitmen) yang mereka miliki berfungsi sebagaimana mestinya.

Berbangga Dengan Nasab dan Mencela Keturunan

Nabi ﷺ memperingatkan umatnya agar menjauhi akhlak jahiliyah yang rusak. Beliau ﷺ bersadba,

أَرْبَعٌ في أمَّتِي مِنْ أمْرِ الجَاهِلِيَّةِ لا يَتْرُكُوهُنَّ: الفَخْرُ في الأَحْسَابِ، والطَّعْنُ في الأَنْسَابِ، والاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّياحَةُ

“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).

Termasuk budaya Arab jahiliyah juga adalah berbangga sebagai pengurus dan memimpin Masjid al-Haram. Kaum Quraisy dan musyrikin Mekah membangga-banggakannya di hadapan Arab lainnya.

مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سامِرًا تَهْجُرُونَ


“dengan menyombongkan diri terhadap Alquran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS:Al-Mu’minuun | Ayat: 67).

Kebanggaan yang dimaksud adalah kesombongan. Abdullah bin al-Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Mereka menyombongkan diri dengan Ka’bah. Mereka mengatakan, ‘Kami adalah ahli (yang mengurusi) Ka’bah’ (HR. an-Nasai 11351 dan al-Hakim 3487. Al-Hakim mengatakan, ‘Hadits ini sanadnya shahih’. Dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Meremehkan dan Menghina Orang Miskin dan Lemah

Orang-orang Arab jahiliyah menghina orang miskin dan lemah. Allah ﷻ berfirman,

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاَءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (QS:Al-An’am | Ayat: 53).

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ berkhotbah di hadapan orang-orang pada hari pembebasan Kota Mekah, beliau mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا، فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ: بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللهِ، وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ، وَخَلَقَ اللهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ”، قَالَ اللهُ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ


“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menghapus kesombongan jahiliyah dan membangga-banggakan leluhur. Manusia itu hanya ada dua: (1) orang baik, bertakwa kepada Allah lagi mulia dan (2) orang yang fajir, celaka lagi hina di sisi Allah. Manusia adalah anak Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah Ta’ala berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS:Al-Hujuraat | Ayat: 13). (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, Bab fi at-Tafakhur bil Ahsab, No: 5116, at-Turmudzi No: 3956, dan Ahmad No: 8721. Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ No: 1787).

Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan,

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها، قَالَتْ: “أَسْلَمَتِ امْرَأَةٌ سَوْدَاءُ لِبَعْضِ العَرَبِ وَكَانَ لَهَا حِفْشٌ فِي المَسْجِدِ، قَالَتْ: فَكَانَتْ تَأْتِينَا فَتَحَدَّثُ عِنْدَنَا، فَإِذَا فَرَغَتْ مِنْ حَدِيثِهَا قَالَتْ:


“Ada seorang wanita berkulit hitam yang bekerja dengan beberapa orang Arab yang telah masuk Islam. Wanita ini memiliki rumah kecil lagi sempit di dekat masjid. Aisyah radliallahu ‘anha melanjutkan; Dia pernah datang lalu bercerita di hadapan kami. Jika telah selesai dari ceritanya dia bersya’ir

وَيَوْمُ الوِشَاحِ مِنْ تَعَاجِيبِ رَبِّنَا *** أَلاَ إِنَّهُ مِنْ بَلْدَةِ الكُفْرِ أَنْجَانِي

Peristiwa selendang adalah salah satu dari keajaiban Rabb kami

Sungguh peristiwa itu terjadi di negeri kafir yang kemudian Allah menyelamatkanku

Ketika dia terus bersyair, Aisyah mengatakan, “Apakah hari selendang itu?”

Wanita itu berkata, “Pernah ada seorang anak wanita menemui beberapa orang keluargaku. Anak itu membawa selendang yang terbuat dari kulit. Kemudian selendang tersebut terjatuh. Tiba-tiba seekor burung menyambar dan mengambilnya, karena mengira selendang itu daging. Tapi orang-orang menuduhku dan menyiksaku hingga mereka menggeladahku dari bagian depanku. Ketika mereka berada di sekelilingku, dan aku dalam keadaan gundah tiba-tiba burung itu datang dan dan berputar-putar di atas kepala kami, kemudian melemparkan selendangnya. Orang-orang mengambil selendang tersebut. Kukatakan pada mereka, ‘Itulah yang kalian tuduhkan padaku, padahal aku berlepas diri dari tuduhan itu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadha-il ash-Shahabah, Bab Ayyam Al-Jahiliyah, No: 3623).

Kisah ini menunjukkan sikap masyarakat jahiliyah yang meremehkan orang-orang lemah. Ketika orang lemah bersalah, maka langsung dihakimi begitu saja.

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan,

إِنَّ أَهْلَ الإِسْلاَمِ لاَ يُسَيِّبُونَ، وَإِنَّ أَهْلَ الجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يُسَيِّبُون

“Orang-orang Islam itu tidak suka mencela. Dan budaya orang-orang jahiliyah itu suka mencela.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Fara-idh, Bab Mirats as-Sa-ibah, No: 6327).

Sebagian orang sibuk dengan budaya atau kebiasaan Arab yang tidak menggerus karakter bangsa. Seperti pakaian. Padahal sejak masa Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dll. pakaian seperti itu telah dikenal. Dan terbukti tidak berbahaya dengan keutuhan Indonesia. Malah mereka memperjuangkan tanah air ini. Namun mereka lupa dengan budaya Arab jahiliyah yang berbahaya. Lihatlah generasi kita sekarang terbiasa dengan mem-bully dan menghina orang-orang lemah dan miskin.

Abu Hayyan rahimahullah menafsirkan ayat

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرً

“dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS:Al-Israa’ | Ayat: 26).

Allah Ta’ala melarang pemborosan. Dulu, orang-orang jahiliyah menyembelih hewan dengan cara membacok. Dan ini dilarang syariat. Mereka menghamburkan harta (boros) untuk berbangga dan didengar orang. Mereka sebutkan hal itu dalam bait-bait syair. Dan Allah ﷻ melarang mengeluarkan harta yang bukan untuk kebaikan. Serta bukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya (Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith, 7/40).

Budaya-budaya Arab jahiliyah ini masih ada di masyarakat Arab sekarang dan juga Indonesia. Hendaknya yang demikian lebih menjadi sasaran perbaikan.

Membunuh Anak Perempuan

Orang-orang Arab jahiliyah memiliki rasa malu dan harga diri yang tinggi. Mereka tidak bisa menerima jika salah seorang anggota keluarga dilecehkan. Aib yang diterima salah seorang anggota keluarga adalah aib keluarga. Oleh karena itu, peperangan sering terjadi karena salah seorang anggota kabilah dihina. Bagi keluarga yang lemah, mereka akan dikuasai. Ketika dikuasai, artinya siap-siap dilecehkan.

Anak-anak perempuan tidak bisa mereka andalkan untuk membela keluarga. Menurut mereka, semakin banyak anggota keluarga perempuan, semakin lemah kabilah. Ketika lemah, maka para perempuan akan tertawan dan menjadi hina dengan perbudakan. Mereka tidak sanggup menahan rasa malu itu. Hingga mereka bunuh anak-anak perempuan mereka sebelum hal itu jadi kenyataan. Allah ﷻ berfirman,

وَإِذَا الْمَوْؤُدَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS:At-Takwiir | Ayat: 8-9).

وَإِذا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِما ضَرَبَ لِلرَّحْمنِ مَثَلاً ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih.” (QS:Az-Zukhruf | Ayat: 17).

وَإِذا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنْثى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوارى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ ما بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرابِ أَلا ساءَ ما يَحْكُمُونَ


“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS:An-Nahl | Ayat: 58)

عَنْ أُمَيْمَةُ بِنْتُ رُقَيْقَةَ أنها جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُبَايِعُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَقَالَ أُبَايِعُكِ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكِي بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقِي وَلَا تَزْنِي وَلَا تَقْتُلِي وَلَدَكِ وَلَا تَأْتِي بِبُهْتَانٍ تَفْتَرِينَهُ بَيْنَ يَدَيْكِ وَرِجْلَيْكِ وَلَا تَنُوحِي وَلَا تَبَرَّجِي تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى.

Umaimah binti Ruqaiqah radhiyallahu ‘anha mendatangi Rasulullah ﷺ untuk membaiat beliau atas Islam. Lalu beliau bersabda, “Aku membaiatmu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakmu, tidak datang membawa kebohongan yang kamu bohongkan didepan tangan dan kakimu, tidak berbuat niyahah (meratapi mayit), dan tidak berhias seperti orang-orang jahiliyyah dahulu.” (HR. Ahmad 6850).

Pergaulan Bebas Ala Jahiliyah

Ada beberapa bentuk hubungan laki-laki dan perempuan di masa jahiliyah. Ada yang sah dan dilanggengkan oleh syariat Islam. Seperti pernikahan yang sekarang kita kenal. Ada juga pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita yang diharamkan hingga seakrang. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha tentang pergaulan laki-laki dan perempuan di masa jahiliyah. Ada 3 bentuk pergaulan bebas di masa jahiliyah: (1) Nikah istibdha. Perzinahan yang bertujuan untuk memperbaiki keturunan. (2) Nikah ar-Rahthu. Pergaulan bebas yang kita kenal dengan istilah “kumpul kebo”. (3) Nikah dzawatu rayah. Yang hari ini kita sebut dengan pelacuran.

Dari Aurah bin az-Zubari, Aisyah radhiallahu ‘anha, istir Nabi ﷺ, bercerita kepada Aurah. Kata Aisyah:

Nikah di zaman jahiliyah ada 4 macam:

Pertama: nikah yang kita kenal pada hari ini (setelah Islam datang). Seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.

Kedua: Bentuk pernikahan yang lain yaitu seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdha’.

Ketiga: Kemudian bentuk yang lain, yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh kalian semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.

Keempat: Bentuk keempat yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak. Lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu sebagai tanda. Siapa saja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang di antara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ. Dan mereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya.

Kemudian setelah Allah mengutus Muhammad ﷺ sebagai Rasul dengan jalan kebenaran, beliau menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut keseluruhannya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. (HR. Bukhari dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 178-179).

Perhatikan bentuk pernikahan yang ketiga (kumpul kebo) dan yang keempat (pelacuran). Dalam hal ini, orang jahiliyah lebih mending dibanding sebagian orang saat ini. Wanita-wanita yang melakukan kumpul kebo dan pelacuran di masa jahiliyah lebih memiliki kehormatan dan kedudukan dibanding wanita yang melakukan kumpul kebo dan pelacuran di zaman sekarang.

Bayangkan! Di zaman jahiliyah pelacur sekalipun masih bisa meminta pertanggung-jawaban laki-laki yang telah berhubungan dengan mereka. Yang hal itu tidak mampu dilakukan wanita serupa pada hari ini. Artinya wanita itu lebih dihargai. Dan laki-laki di masa itu memiliki tanggung jawab dan harga diri. Mereka malu menolak tugas pengasuhan anak walaupun pengasuhan itu membutuhkan biaya.

Orang-orang di masa jahiliyah juga menikahi wanita bersaudara, yang keduany masih hidup. Mereka menikahi ibu tiri mereka ketika sudah dicerai atau sang ayah wafat.

Abdullah bin al-Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 19).

Apbila seseorang wafat, maka keluarganya adalah orang yang paling berhak atas istrinya. Jika salah seorang dari keluarganya mau, mereka bisa menikahinya. Jika semuanya mau, mereka juga bisa menikahinya. Jika mereka tidak mau, mereka tidak menikahinya. Pihak keluarga suami ini, lebih berhak terhadap si wanita dibanding keluarga wanita itu sendiri. Kemudian Allah ﷻ turunkan ayat ini.”

Dalam riwayat Abu Dawud, Abdullah bin al-Abbas menafisrikan ayat ini:

لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 19).

Dulu, seorang laki-laki mendapat waris dari kerabatnya, istri-istri mereka. Warisannya adalah seorang wanita hingga ia wafat. Atau wanita itu menebus dirinya. Kemudian Allah ﷻ memberi keputusan pelarangan hal itu (HR. Abu Dawud dalam Kitab an-Nikah, Bab Qouluhu Ta’ala “لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ”, No: 2090. Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, 6/325).

Penutup

Inilah beberapa contoh akhlak jahiliyah. Umar bin al-Khattab mengatakan,

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً إذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الْجَاهِلِيَّةَ

“Sesungguhnya ikatan Islam akan terurai satu per satu, apabila di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui perkara jahiliyah.”

Mengapa? Karena orang yang tidak mengetahui akhlak buruk jahiliyah, kemungkinan besar ia akan jatuh ke dalamnya. Realita kita sekarang telah membuktikan apa yang diucapkan Umar.

Sumber:
– http://islamstory.com/ar/أخلاق-العرب-قبل-الإسلام

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
Previous
Next Post »
0 Komentar