Dia tetap tabah, walaupun disetrika dan dipukul dengan tongkat selama ini. Sepatu mereka yang keras membekas di tubuhnya yang selalu mengingatkannya terhadap kekejaman dan perlakuan buruk mereka. Dia meraba giginya yang patah.
Dia bangkit dan melepaskan napas panas yang mengungkapkan penderitaan yang dia alami di penjara terkutuk.
"Ahh... Penghinaan apa lagi yang belum kalian lakukan kepada wanita lemah sepertiku ini?"
"Bentuk kekerasan apa yang kalian lupakan yang belum kalian luncurkan kepada tubuhku yang hampir rusak ini?"
"Setelah semua ini, apakah kalian bisa memadamkan keinginan berseteru yang bergejolak di hati kalian?"
"Apakah kalian bisa menyembuhkan rasa dengki kalian yang bertumpuk?"
"Apakah kalian merasakan indahnya kemenangan, sedangkan kalian memerintahkan anjing-anjing kotor menyiksa gadis lemah yang tidak punya kekuatan dan usianya masih belum mencapai lima belas tahun?"
"Celaka kalian. Lelaki macam apa kalian? Bahkan binatang jenis apa kalian sehingga tidak kenal belas kasihan?"
"Bangsat.... Busuk."
Kata-kata panas membara di hatinya dan dia ingin menumpahkannya di wajah iblis mereka.
Air mata berderai karena besarnya kesedihan yang terlukis di wajahnya. Dia menangis dengan perasaan pedih bercampur lara. Dia mencoba menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya yang terbelenggu. Dia berjalan sempoyongan di antara para tentara wanita yang memegangi kedua lengannya dan mendorongnya ke bilik terdakwa ruang pengadilan militer.
Dia berjalan di antara mereka dengan langkah berat disebabkan rantai yang memeras dua pergelangan tangannya yang lemah.
Suara rantai menghancurkan ketenangan ruangan iblis itu.
Dia memandang sekelilingnya dengan kedua matanya yang sayu.
Dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi walapun dia lemah dan merasa pusing.
Dia berdiri di antara empat tentara perempuan yang mengelilinginya seperti gelang di lengan.
Dia memandang kepada para tentara yang berbaris di kiri- kanan, mereka memelototinya karena terkejut.
Dia merasa berada di hadapan kaum lelaki yang tidak setara dengan sayap seekor lalat.
Gadis itu berkomat-kamit dengan suara keras yang timbul dari hati yang hancur.
"Tenang, wahai Para Pembunuh. Hari kehancuran pasti datang. Kalian tidak akan bisa lari darinya."
Gadis itu duduk di bilik terdakwa, menunggu keputusan dari pengadilan "sandiwara" ini.
Dia menundukkan kepalanya sambil memikirkan pengadilan ini.
"Pengadilan macam apa ini? Hukum apa yang bisa diterapkan oleh orang-orang lalim ini? Aku hanya menunggu kekecewaan, penganiayaan dan penghinaan."
Gadis itu diam menunggu masuknya para hakim pengadilan.
Tiga hakim militer masuk bersama beberapa tentara, menempati podium. Mereka saling berpandangan dan tersenyum mengejek.
Salah seorang dari mereka berpaling ke arah gadis itu sambil mencopot kacamata dari kedua mata julingnya.
"Heh.... Suad Hilmi Ghazzal.... Itu namamu bukan?"
Suad memandangnya dengan pandangan menghina dan terus bungkam.
Sang hakim menundukkan kepala, "Bagus... Kamu menyerang seorang tentara di dekat pemukiman Shavei Shomron, saat dia berhenti di jalur utama. Kamu mencoba menusuknya dengan pisau.... Begitu bukan?" Kata sang hakim dengan penghinaan yang terpendam.
Suad berpaling darinya dan memicingkan matanya, menganggap angin lalu apa yang hakim katakan. Sang hakim merasa terhina dan tidak sabar lagi. Dia berteriak, "Jawab pertanyaanku!!!"
Suad menoleh kepadanya dengan tatapan penuh kebencian, "Ya... aku melakukan itu, tapi aku salah."
Sang hakim tersenyum, "Jadi kamu mengakui kesalahanmu?"
Sang hakim memandangnya dengan kaget. Dia merasa terhina, "Apa? Kamu ingin membunuhnya? Kenapa, wahai Wanita Ekstrem?"
Suad bangkit, dia sudah dikuasai oleh amarah. Dia berteriak di depan wajah sang hakim, "Aneh kalau aku membunuhnya ya? Sedangkan kalian, apa hak kalian membunuh penduduk?"
"Jawab pertanyaanku dengan singkat.... Kenapa kamu mencoba membunuhnya?"
"Sehari sebelum aku menusuknya, pasukanmu menyerang desa kami. Mereka menghancurkan, meruntuhkan, dan membuat kerusakan di sana. Mereka merobohkan banyak rumah, salah satunya adalah rumahku. Mereka membunuh adikku. Mereka datang bersama sekelompok orang pribumi dan wanita yang hendak kubunuh ini adalah termasuk dari mereka. Dia melakukan banyak hal. Dia menghina aku dan ibuku."
Sang hakim gelisah dan tersinggung. Dia memukulkan palu ke meja, "Cukup.... Cukup."
Suad diam dan menunggu. Sang hakim menggerutu dengan marah, "Gadis apa ini.... Berani sekali dia."
Dia membolak-balikkan berkas, berbisik ke telinga wakilnya dan menarik napas panjang, "Baik.... Pengadilan break."
Dia lalu bangkit dan pergi bersama teman-temannya.
Ruang pengadilan dipenuhi oleh kesunyian mencekam. Dua mata Suad bersinar.... Dia mengangkat kepala dan memandang sekelilingnya. Mata mereka melotot kepadanya dengan penuh rasa terkejut, "Kenapa mereka memandangku seperti itu? Apa yang mereka inginkan dariku?"
Dia merasakan keterkejutan mereka. Dia mengingat-ingat apa yang dia ucapkan kepada hakim barusan. Dia merasa bahwa dia telah melemparinya dengan sebuah batu. Tali rekaman memorinya terputus oleh suara pintu kayu terbuka.
Para hakim masuk dengan kecongkakan ala militer. Mereka duduk di balik podium dan saling berbisik. Tampak senyum menghina di wajah mereka sambil mempelototi Suad. Salah seorang dari mereka membolak-balikkan berkas, dia mengenakan kacamatanya dan memukulkan palu ke meja. Semuanya diam.
Suad bangkit untuk mendengarkan keputusan.
"Berdasarkan kejadian barusan dan melihat pengakuan tersangka akan kesalahannya menganiaya dan menusuk seorang tentara wanita, maka pengadilan memutuskan hukuman penjara enam tahun setengah bersama pelaksanaan kepada terdakwa Suad Hilmi Ghazzal. Pengadilan selesai."
Suad berteriak dengan suara kencang, "Allahu Akbar Allahu Akbar!!!" Dia mengeluarkan mushaf dari sakunya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dan berteriak dengan suara keras, "Keputusan milik Allah.... Kekekalan hanya kepunyaan Allah. Allah akan membalas kalian, Bangsat! Ya, Allah akan membalas kalian, Bangsat!"
Para hakim diam terpaku.... Terjadi kesalahan di ruang pengadilan. Suad menoleh kepada mereka, tampak kemarahan di wajahnya.
"Sedangkan kalian. Kalian pengecut. Ini untuk kalian." Suad pun meludahi wajah mereka dengan kuat. Dia berteriak di depan para tentara yang ada di depannya, "Pengecut, banci. Menghadapi perempuan saja kalian tidak berani. Akan datang hari di mana kami akan mengusir kalian, dengan izin Allah. Kalian akan melihatnya, wahai orang Yahudi."
Para tentara wanita memegangnya. Salah seorang dari mereka mencoba membuatnya diam dengan menutup mulutnya. Namun Suad terus berteriak, "Beberapa tahun kemudian, aku akan kembali. Aku akan kembali, Pembunuh. Aku akan kembali menusuk lagi. Setelah hari ini, aku tidak akan takut kepada kalian."
Suad mengangkat kepalanya dengan enggan. Dia lantas berdoa, "Kepada Aliahlah aku mengadu. Hanya kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Tuhanku, Engkau adalah pelindung orang-orang lemah dan penolong mereka. Engkau tempat kami berlindung, ya Allah."
(Ini adalah kisah gadis muslimah Paletina, Suad Hilmi Ghazzal [17 tahun] dari desa Salim dekat daerah Nabulis. Dia ditangkap tanggal 13 Desember 1998, saat berusia 15 tahun. Dengan tuduhan mencoba menusuk seorang wanita Yahudi pribumi. Dia disiksa dengan kejam kemudian dijatuhi hukuman penjara enam tahun setengah).
Dikutip dari buku kisah kisah penggugah jiwa Karya Abdurrahman Bakar
abatasa.com
0 Komentar