Kisah Syekh Kholil - Kyai Kholil lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 Hijriah di Bangkalan, Madura.
Ayahnya bernama Abdul Latif bin Kiai Harun bin Kiai Muharram bin Kiai Asrol Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman ialah salah satu cucu dari Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1859 ketika berusia 24 tahun, Kiai Kholil memutuskan untuk hijrah ke Makkah dengan biaya sendiri hasil tabungannya. Tapi, sebelum berangkat, Kiai Kholil terlebih dahulu dinikahkan dengan Nyai Asyik.
Setelah semua proses pernikahan usai dihelat, mulailah Kiai Kholil melanjutkan niatnya yang sempat tertunda, yakni pergi ke Makkah.
Singkat cerita setiba di Makkah beliau memutuskan untuk belajar pada syekh dari berbagai madzhab di Masjidil Haram. Namun, dari sekian banyak madzhab yang ia pelajari, Kiai Kholil lebih banyak mendalami mengaji kepada syekh yang bermadzhab Syafi'i.
Sepulang dari tanah suci, di kampung halamannya, Kiai Kholil dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot yang hebat. Bahkan, ia dapat memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafidz (hafal Al-Quran 30 juz).
Karena keilmuannya itu, maka mulailah banyak santri yang menimba ilmu padanya, sampai pada akhirnya Kiai Kholil memutuskan untuk mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.
Melihat Kabah dari Lubang Kecil
Banyak kisah seputar kewalian Kiai Kholil seperti yang ditulis di buku K.H.M . Kholil Bangkalan, biografi singkat 1835-1925 karya Muhammad Rifai.
Suatu hari, Kiai Muntaha, menantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha membangunnya dengan rencana yang matang sesuai dengan tuntunan syariat.
Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid yang tepat mengarah ke kiblat.
Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu, dengan cermat diamati oleh Kiai Kholil. Menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata pada masjid itu terdapat kesalahan terutama pada arah dan posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!" kata Kiai Kholil mengingatkan menantunya itu.
Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar.
Mendapat sanggahan dari menantunya itu, Kiai Kholil tersenyum, sambil berjalan ke arah masjid.
Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil memperhatikan menantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu.
Betapa terkejutnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tanpa diduga, dari lubang yang kecil itu ternyata Kabah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas.
Kiai Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya kembali apa yang ia lihat dari lubang tadi, dan ternyata Kabah yang di Makkah malah semakin jelas terlihat.
Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat masjid yang diyakininya benar selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu miring ke kanan.
Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang tadi.
Rumah Miring dalam Satu Hentakan Kaki
Kisah lainnya ialah, pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan.
Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah berdatangan, acara belum juga ada tanda-tanda dimulai.
Menit demi menit berlalu beberapa orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai.
Padahal, menurut jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah. Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran seseorang.
Ternyata dalam masa penantian itu, seorang jagoan di daerah itu mulai kehilangan kesabaran. Ia lalu berdiri dan berkata.
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai?" kata si jagoan sambil berteriak.
Tapi, bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu. "Assalamualaikum" ucap Kiai Kholil sambil menghentakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir.
Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercengang tidak berani menatap Kiai Kholil.
Jagoan yang tadinya marah-marah, tiba-tiba dilanda ketakutan yang luar biasa. Nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia kala.
Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya jagoan itu tersadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil.
"Jagoan itu lalu menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan. Doa Kiai Kholil terkabul, jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan, kini menjadi panutan masyarakat daerah itu,"ujar Rahman, budayawan asal Madura. (one)
Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/640059-kisah-kiai-kholil-lihat-kabah-dari-lubang-masjid-madura/1
0 Komentar