Bertawasul ke Imam al-Ghazali, Barang Hilang Pun Ketemu

05.52
Bertawasul ke Imam al-Ghazali, Barang Hilang Pun Ketemu
Bertawasul ke Imam al-Ghazali, Barang Hilang Pun Ketemu
Seorang pemuda asal Tegal berusia kira-kira 36 tahun, sebutlah namanya Udin (nama samaran), hari itu sedang dilanda kebingungan. Di saat usaha membuka warung sembako yang dirintis bersama istrinya belum benar-benar stabil dan menunjukkan perkembangan yang berarti, tiba-tiba sejumlah uang yang selama ini mereka kumpulkan dari hasil berdagangnya itu hilang entah di mana. Padahal Udin belum punya rumah sendiri, melainkan masih ikut tinggal di rumah mertuanya di Cirebon.

Sebab utama kebingungan Udin sebenarnya bukan karena uangnya yang hilang. Tetapi lantaran dia masih tinggal seatap dengan mertuanya, tentu saja orang tua istrinya itu mempersoalkan dan menyayangkan atas kejadian hilangnya uang tersebut. Apalagi mertuanya juga menuntut kepada Udin bagaimana caranya supaya dapat menemukan uang yang raib itu. Ayah istrinya itu seakan menekan Udin yang merupakan santri alumni pesantren agar menunjukkan kemampuannya dalam soal ini. Merasa ditantang demikian, Udin akhirnya menyanggupi dan berjanji akan dapat menemukan uangnya dalam waktu seminggu.

Itulah pemantik kebingungan Udin, yaitu terpaksa menyanggupi dan menjanjikan kepada mertuanya akan dapat menemukan kembali uangnya. Padahal meski dia alumni pesantren tapi ia merasa tak memiliki kemampuan layaknya orang pintar yang diidentikkan mempunyai kemampuan supra natural. Kendati menyadari tak memiliki kecakapan demikian, tidak lantas Udin pergi ke dukun atau paranormal. Udin tetap berusaha berpikir dan mencari solusinya sendiri.

Jauh sebelum Udin menikah dua tahunan lalu, dia yang juga menjadi guru honorer di sebuah sekolah formal ini merupakan seorang yang dikenal sangat gandrung (sangat menyukai) dengan kajian agama dalam kitab Ihya' Ulumudin karya Imam Al-Ghazali. Dia berusaha sebisa mungkin agar perilaku hidupnya, terutama dalam bidang muamalah bisa berkesesuaian dengan ajaran Imam Ghazali yang tertuang dalam Ihya' tersebut. Maka sebagai konsekuensinya Udin ketika menjalankan suatu pekerjaan atau usaha dirinya sangat berhati-hati, tidak asal mendapat untung dan penghasilan besar. Tapi diperhatikan betul apakah bisnis atau jual beli yang ia jalani misalnya, telah sesuai dengan ketentuan fiqih atau justru melanggar.

Akhirnya Udin bertawasul (berdoa dengan perantara, red) kepada Imam Ghazali. Lalu curhat kepada Imam Ghazali tentang problem yang sedang dialaminya. Sebagai orang yang telah memiliki bekal ilmu Tauhid yang memadai, tentu Udin sudah paham mana hal-hal yang dikategorikan perbuatan syirik dan mana perbuatan yang diperbolehkan syariat.

Ajaibnya, beberapa waktu setelah tawassul dan curhat kepada Imam Ghazali (dengan caranya sendiri), uang yang sebelumnya hilang itu sudah berada kembali di tempat penyimpanannya semula. Tidak diketahui siapa yang mengembalikan uang itu di tempat asalnya. Setelah dihitung ternyata jumlahnya sama, tidak berkurang. Udin riang gembira, walau sebelumnya janji akan dapat menemukan kembali uangnya dalam jangka satu pekan sebetulnya karena terpaksa dan nekad saja—barangkali demi menjaga harga diri. Kini ucapanya itu benar-benar terbukti. Sejak itu Udin mulai diperhitungkan oleh mertuanya.

Menurut pandangan Udin keajaiban yang dialaminya itu bukanlah jenis amalan klenik atau mistik, tetapi merupakan suatu kejadian biasa saja yang logis serta dapat dirasionalkan. Dia meyakini bahwa meski sudah wafat ratusan tahun lalu bahkan lebih lama lagi dari itu, arwah para "wali" termasuk Imam Al-Ghazali masih hidup dan dapat mendengar komunikasi orang yang masih hidup saat ini.

Tak hanya itu, lulusan dari salah satu pesantren di Babakan Cirebon ini meyakini ketika seseorang membaca kitab karya para wali tersebut, berarti pembaca sedang berdialog dengan "ruh" pengarang kitab itu dalam arti sesungguhnya.

Saat pembaca mengarungi samudera pemikiran ulama melalui kitabnya, hakikatnya dia tidak sedang berhadapan hanya dengan benda mati berupa kertas bertinta hitam yang berjilid, tapi juga berhadapan dengan "ruh" penulisnya. Kian intens dan seringnya pembaca dalam menelaah pemikiran ulama-auliya' sehingga memperoleh pemahaman yang mendalam, maka makin akrab dan kian kenal pula dengan penulisnya. Dari situ terjalinlah hubungan sepritual melalui pengenalan yang intens saat mengkaji karangannya.

Pandangan Udin di atas menurut penulis artikel ini sangat kompatibel jika dikaitkan dengan adab seorang pembelajar dalam tradisi pesantren yang begitu mengagungkan kitab karangan ulama seperti misalnya imbauan supaya dalam keadaan punya wudhu saat pelajar memegang kitab, tidak boleh ditaruh di tempat yang rendah sehingga terlangkahi, tidak boleh ditaruh di atas kitab sesuatu barang dan etika lainnya. Penghormatan yang tinggi demikian karena tulisan ulama-aulia' tidak sekadar berupa kumpulan kertas dan tinta, melainkan juga terdapat "jiwa" pengarangnya.

Di samping itu dalam konteks hubungan buku dan pengarangnya pandangan Udin tersebut jauh lebih filosofis dibandingkan pernyataan sastrawan Pramoedya Ananta Toer misalnya yang pernah mengatakan bahwa semua buku hasil karanganya tak lain adalah anak-anak rohaninya yang mempunyai sejarahnya masing-masing.


* Ditulis oleh M. Haromain, berdasarkan penuturan kawan informan dari Plered Cirebon belum lama ini.


http://www.nu.or.id/
Previous
Next Post »
0 Komentar