Dalam setiap harta yang Anda miliki ada hak dari Muslim lain. Karena itu, zakat adalah pembersih dari harta yang kita miliki. Harta yang tidak dizakatkan akan menimbulkan mudharat bagi pemiliknya. Sejarah Islam telah mengajarkan pada kita bagaimana seorang yang sudah mampu menunaikan zakat, tetapi tak mau menunaikannya.
Mari kita belajar pada seorang bernama Tsa’labah. Dia adalah orang yang sangat miskin. Saat salat berjamaah dia selalu pulang lebih awal dan dengan terburu-buru. Kain yang dimilikinya hanya satu, dan dia harus bergantian memakainya dengan sang istri.
Sampai satu ketika Tsa’labah menghadap kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulul, berikan kepadaku jalan untuk menjadi kaya," katanya di hadapan Nabi.
Nabi menjawab. "Tsa’labah, terimalah dengan tawakal rezeki yang ada. Nikmatilah dengan rasa syukur, pasti Allah akan membalasmu," kata Nabi
Karena Tsa’labah berkeras ingin menjadi hartawan. Rasulullah kemudian memberinya modal sepasang domba untuk dijadikan modal usaha. Dengan izin Allah, ternaknya berkembang biak hingga berjumlah ratusan. Kebun kurmanya luas dan subur.
Tapi apa yang telah diperoleh Tsa’labah membuatnya lupa dengan Islam karena hartanya itu. Solat berjamaah telah ditinggalkan karena dia sibuk mengurus ternak dan kebun.
Dalam waktu singkat Tsa’labah juga terkenal sebagai hartawan. Ternak yang banyak dan kebun yang subur sudah dimilikinya. Sampai akhirnya wahyu untuk berzakat turun kepada Rasulullah. Nabi pun meminta Ali menagih zakat kepada Tsa’labah.
"Ali, Tsa’labah sudah mencapai martabat hartawan yang wajib mengeluarkan zakat. Tagihlah kepadanya," kata Nabi. Ali pun bergegas datang kepada Tsa’labah untuk menagih zakat kepadanya.
"Rasulullah mengatakan, engkau harus membayar sebagian dari kekayaanmu untuk fakir miskin," kata Ali.
"Buat apa? zakat bagi fakir miskin?" jawab Tsa’labah. "Maaf, Ali. Orang-orang miskin itu adalah pemalas-pemalas. Kalau aku kalau duduk berleha-leha, mana mungkin bisa mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?" kata Tsa'labah.
"Tapi rukun Islam telah menetapkan, atas orang yang mampu, diwajibkan menunaikan zakat dari sebagian kecil hartanya," jawab Ali.
Tsa’labah naik pitam. "Apa? Aku harus memberi makan kepada mereka, yang Allah sendiri tidak sudi memberikan rezeki atas orang-orang itu? Tidak. Saya menolak membayar zakat," katanya.
Rasulullah berduka memikirkan Tsa’labah dan merasa kasihan, kalau-kalau Tsa’labah dilaknat lantaran pembangkangannya itu. Maka disuruhlah Ali menagih sampai tiga kali. Tapi Tsa’labah masih juga menolak berzakat.
Rasulullah menggumam. "Hartanya (Tsa'labah) tidak menyelamatkan dirinya,"
Apa yang diucapkan Rasulullah pun benar. Mendadak wabah menyerang ternak Tsa’labah. Hama mengeringkan tanaman kormanya. Tsa’labah datang menghadap Nabi dan hendak membayar zakat. Tapi Nabi menolak zakat yang akan dibayarkan Tsa’labah. Lalu Tsa’labah datang kepada Abubakar dengan niat serupa. Abu Bakar menyahut, "Maaf, aku tak menerima yang ditolak oleh Rasulullah."
Hancurlah kehidupan Tsa’labah. Kekayaannya musnah dalam singkat, nasibnya telunta-lunta, hartanya tak dapat menyelamatkan dirinya karena dosanya tak bersedia berzakat.
Jadi, mengapa masih ada yang rela menjadi Tsa’labah di dunia ini. Tidakkah tergerak hati kita untuk menunaikan kewajiban agama demi kepentingan kemanusiaan. Berzakat tidak akan membuat kita jatuh miskin.
Dengarkanlah wahai hati yang bening, betapa Rasulullah mengingatkan, "Kokohnya dunia ini karena empat perkara. Dengan ilmu para ulama, dengan kedermawanan orang-orang kaya, dengan doa-doa orang fakir miskin, dan dengan keadilan para penguasa."
Kisah Tsa’labah mengajarkan kita untuk berzakat. Ada hak seorang muslim pada zakat yang dimiliki seseorang. Berzakatlah, in sha Allah akan mendapat keberkahan dari Allah pada pekerjaan kita. Harta yang takdizakatkan hanya memberi mudaharat bagi pemiliknya.
sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/516542-belajar-dari-kisah-tsa-labah-tentang-berzakat
0 Komentar