Bulan Safar Bukan Bulan Sial

15.27



Bulan Safar Bukan Bulan Sial



Bulan Safar Bukan Bulan Sial. Entah sejak kapan, Safar bagi sebagian umat Islam dianggap bulan sial. Bulan saat bencana diturunkan. Keyakinan Safar sebagai bulan yang mendatangkan bala, ternyata juga menghinggapi masyarakat Nusantara. Dilestarikan dengan berbagai jenis tradisi yang sangat jauh dari tuntunan syariat (Quran dan Hadis).

Beragam Tradisi Tolak Bala

Ada banyak tradisi tolak bala di bulan Safar. Sebut saja tradisi Robo-robo di Mempawah, Kalimantan Barat. Robo-robo dilakukan setiap Rabu pekan terakhir di bulan Safar. Ini karena sebagian masyarakat Melayu di Mempawah percaya jika Safar merupakan bulan nahas. Bulan ketika bala paling banyak diturunkan.

Puncaknya pada pekan terakhir. Agar terhindar dari bala, maka pada hari Rabu dilakukan upacara tolak bala berupa ritual buang-buang. Barang-barang sesaji yang terdiri dari beras kuning, setanggi, dan bertih, dihanyutkan di muara Sungai Kuala, Mempawah. Setelahnya, dilakukan saprahan atau makan bersama di halaman depan Istana Amantubillah.

Tradisi serupa juga dilakukan masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Namanya Rebo Bontong. Sama seperti masyarakat Melayu di Mempawah, masyarakat Sasak percaya jika pada Rebo Bontong (Rabu terakhir di bulan Safar) merupakan puncak terjadinya bala. Untuk itu, mereka melakukan upacara mandi bersama di kali. Tradisi Rebo Bontong atau mandi Safar ini dianggap bernilai sakral dan turun temurun sejak ratusan tahun silam

Begitu pula tradisi yang ada di masyarakat Jawa, yang dikenal dengan nama tradisi Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan (Rabu terakhir di bulan Safar). Sebagian masyarakat Jawa pada hari tersebut melakukan salat Rebo Wekasan, yakni salat memohon ampun dari bala di hari Rabu terakhir bulan Safar. Karena percaya Safar sebagai bulan sial, maka tidak sedikit masyarakat Jawa yang menghindari perjalanan atau acara hajatan di bulan ini.

Tiada Sial di Bulan Safar

Keyakinan jika safar sebagai bulan sial, ternyata bertalian erat dengan kepercayaan masyarakat Arab di zaman jahiliah. Pada masa itu, bulan Safar dipercaya merupakan bulan ketika Tuhan menurunkan hukumannya. Bulan saat umat manusia mengalami berbagai bencana atau kejadian nahas.

Oleh karena itu, masyarakat Arab jahiliah meyakini jika Safar merupakan bulan penuh kesialandan ditakuti (Sahih Bukhari no.2380 dan Abu Dawud no.3915). Setiap anak yang lahir di bulan Safar diangap pembawa sial. Pernikahan pun tidak pernah berlangsung di bulan Safar. Supaya terhindar dari kesialan, berbagai ritual tolak baladilakukan.

Rasulullah saw berupaya menghilangkan keyakinan dan kebiasaan jahiliah tersebut. Rasulullah bersabda, "Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar."(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).

Bahkan Rasulullah menikahkan putrinya, Fathimah az-Zahra di bulan Safar. Pernikahan ini dilakukan untuk mendobrak kepercayaan masyarakat Arab jahiliah yang menghindari pernikahan di bulan Safar. Safar merupakan bulan mulia. Tidak berbeda dengan bulan lainnya.

Rasulullah mengingatkan umatnya agar menjauhi segala bentuk tathayyur (ramalan buruk karena sesuatu) atau thiyarah (merasa bernasib sial karena sesuatu). Meyakini Safar sebagai bulan sial dapat tergolong sebagai tathayyur/thiyarah. "Ketahuilah, sesungguhnya nahas dan malang mereka itu hanya ditetapkan di sisi Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. al-Araaf [7]: 131).

Jika kita masih beranggapan Safar sebagai bulan sial, dan melakukan ritual tolak bala atau sejenisnya, maka berhati-hatilah. Keyakinan/kebiasaan tersebut harus dihilangkan. Jika tidak, kita bisa terjerumus ke dalam dosa teramat besar (syirik). Dari Abdullah ibnu Umar ra dia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang menangguhkan hajatnya karena al-thiyarah, maka dia telah berbuat syirik." (Hadis riwayat Imam Ahmad, no.6748).

Santri karya MQ Daarut Tauhiid
Previous
Next Post »
0 Komentar