Tak ada sebuah hadiah yang begitu berarti buat seorang mukmin sepanjang hidupnya melebihi kematian. Itulah hadiah Allah yang hanya mampu diterjemahkan oleh mereka yang begitu rindu dengan Kekasihnya yang sejati. Dunia, seberapa pun indahnya, tak lebih dari penjara yang membelenggu diri dalam ketidaknyamanan dan keterpaksaan.
Seperti itulah ungkapan Rasulullah saw dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abid Dunya, Thabarani dan Hakim. “Hadiah yang pelik untuk seorang mukmin ialah kematian.”
Itulah kematian. Ia bagaikan garis pemisah antara panggung kepura-puraan dengan kehidupan yang sebenarnya. Garis yang memisahkan aneka lakon dan peran dengan sosok asli seorang manusia. Garis yang akhirnya menyatakan kesudahan segala peran dan dikembalikannya segala alat permainan.
Sayangnya, tak sedikit manusia yang lebih cinta dengan dunia pura-pura. Mereka pun berkhayal, andai kepura-puraan bisa buat selamanya. Bisa berpuas diri dengan aneka lakon dan peran. Tanpa disadari, kecintaan itu pun berujung pada kebencian. Benci pada kematian.
Seperti itulah tabiat anak kecil yang begitu asyik dengan main-mainnya. Mereka lupa kalau sore sudah hampir lewat, dan malam pun akan menjelang. Bahkan, mereka pun lari ketika diminta mandi. Padahal, mandi menjadikan tubuhnya terasa nyaman berteman malam. Dan kemana pun sang anak lari, mereka tak akan mampu bersembunyi dari kemestian malam.
Allah swt menggambarkan orang-orang yang lari dari kematian. Seperti dalam firmanNya di surah Al-Jumu’ah ayat 8, “Katakanlah: kematian yang kamu lari daripadanya itu sesungguhnya akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Tuhan Maha Tahu hal yang tersembunyi dan yang terang, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Ketakutan adalah alasan yang paling lumrah buat mereka yang tetap lari dari kematian. Banyak alasan kenapa harus takut. Pertama, mereka takut berpisah dengan kehidupan. Bagi mereka, perpisahan ini berarti usai sudah pesta kenikmatan. Karena kehidupan sudah terlanjur mereka terjemahkan sebagai kenikmatan. Hanya kenikmatan.
Kedua, ada ungkapan batin yang tidak mereka sadari. Bahwa, mereka enggan berjumpa dengan Allah. Sebagaimana, mereka selalu menghindar dari perjumpaan dengan Allah dalam ibadah yang mereka lakukan. Keengganan itu sebenarnya bukan cuma milik mereka. Karena Allah pun enggan bertemu mereka, sebagaimana mereka enggan bertemu Allah.
Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim. “Barangsiapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah juga benci bertemu dengan orang itu.”
Keengganan itu sangat bertolak belakang dengan kerinduan yang diungkapkan seorang sahabat Rasul, Hudzaifah. Ketika tak lama lagi ajal kematian menyambang, beliau r.a. berujar, “….Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa kemiskinan itu lebih baik bagiku daripada kekayaan, sakit itu lebih baik daripada kesehatan, dan mati itu lebih membuatku bahagia daripada hidup, maka permudahkanlah kematian itu untukku. Sehingga aku dapat bertemu dengan-Mu.”
Ketiga, boleh jadi ketakutan terhadap kematian lebih karena ketidaktahuan. Persis seperti anak kecil yang lari ketika diminta mandi. Karena yang diketahui anak tentang mandi tak lebih dari dingin, dipaksa ibu, dan berhenti dari permainan. Begitu pun tentang kematian. Kematian bagi mereka tak lebih dari rasa sakit, berpisah dengan keluarga, harta dan jabatan; serta rasa kehinaan ketika jasad terkubur dalam tanah.
Di situlah perbedaan mendasar antara hamba Allah yang baik dengan yang buruk. Abdullah bin Umar pernah mendapat pelajaran tentang kematian dari Rasulullah saw. “Aku mendatangi Nabi saw sebagai orang yang kesepuluh dari sepuluh yang mendatangi Rasul. Kemudian, ada seorang dari kaum Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai dan mulia, ya Rasulullah?’ Beliau saw menjawab, ‘Yaitu, orang yang terbanyak ingatnya kepada kematian, dan yang paling siap menghadapi kematian. Itulah orang-orang yang akan pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)
Bagi hamba Allah, tak ada kemuliaan apa pun dari tetap menjaga ingatannya dengan kematian. Bahkan, seorang yang berada pada puncak kekuasaan sekalipun. Setidaknya, itulah yang hendak diungkapkan seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hampir sepanjang usia kekuasaannya, tak pernah ia lewatkan satu malam pun untuk mengingat kematian. Caranya begitu manis. Ia panggil para pakar fikih, lalu satu sama lain saling mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan kehidupan akhirat. Kemudian, semuanya pun menangis. Seakan-akan, di samping mereka ada jenazah yang sedang ditangisi.
Itulah mungkin, kenapa Khalifah yang punya kekuasaan luas ini menjadi sosok yang terpuji. Semasa kekuasaannya, hampir tak satu pun rakyatnya yang mengeluh. Mereka hidup sejahtera. Dan inilah sebuah bukti, betapa hidup Umar bin Abdul Aziz begitu berarti ketika kematian menjadi pengingat sejati.
Jadi, kehidupan dan kematian tak lagi menjadi dua lembah yang saling terpisah. Kematian mengingatkan kehidupan agar tetap menjadi sesuatu yang berarti. Bahkan, teramat berarti. Dan kehidupan mengingatkan kematian sehingga menjadi sesuatu yang dinanti. Kematian mendidik kehidupan, dan kehidupan merindukan kematian.
Sumber : http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/motivation/1263/ingat-kematian-hidup-sangat-berarti.html
0 Komentar